Selama lebih dari 30 tahun terakhir, telah muncul kritisisme terhadap museum. Semua hal yang menjadi tindakan-tindakan umum dalam museologi sekarang ini diuji kembali, khususnya terhadap cara-cara museum melakukan kurasi terhadap koleksinya atau kerjasama museum dengan beragam stakeholder. Di bawah tekanan kritik, tindakan-tindakan museum kemudian berubah secara signifikan dan menyeluruh. Sebagai contoh, museum-museum yang menggunakan paradigma Barat telah berusaha untuk mendekolonisasi tindakannya saat mencoba mengembangkan metode baru dengan mempertimbangkan kesesuaian antara koleksi dan pameran pascakolonial. Selain di bidang pameran, perubahan metodologi juga terjadi dalam hal konservasi dan edukasi.
Untuk menguatkan museologi, banyak pelaku profesional pergi ke Eropa atau Amerika Utara untuk belajar, dilengkapi dengan berbagai pelatihan yang dilakukan di Asia sendiri. Di Indonesia, sebagai contoh, program pembelajaran formal dalam ranah museologi ini dikembangkan di beberapa universitas, umumnya dengan bantuan dari lembaga-lembaga di Barat.
Saat ini dirasa merupakan momen yang tepat untuk merefleksikan keberadaan museum-museum dan pendidikan museum di Indonesia dan di Asia secara umum. Untuk keperluan tersebut, Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, UGM menyelenggarakan kegiatan International Conference dengan topik “Museum of Our Own: In Search of Local Museology in Asia” pada tanggal 18 – 20 November 2014 bertempat di University Club Hotel, UGM, Yogyakarta.
Tidak sekedar membuat penilaian kritis dari program museologi yang dijalankan, konferensi ini lebih berfokus kepada mempertimbangkan kembali tindakan-tindakan dalam museologi yang telah didefinisikan di Barat untuk diterapkan pada museum milik kita sendiri. Apakah museum-museum lokal hanya merupakan institusi Barat yang “dihaluskan”? Bagaimana kita mengembangkan lebih jauh lagi sebuah program pendidikan yang merespon kebutuhan-kebutuhan lokal? Pertanyaan yang mendasar dari konferensi ini adalah apakah sebenarnya museum merupakan miliki kita sendiri?
Konferensi ini dibagi dalam sebuah sesi yang saling berkaitan merujuk pada topic-topik yang berbeda dalam museologi, baik dalam konsep maupun dalam level praktis.
Hadir seabgai pembicara kunci dalam acara tersebut adalah Dr. Harry Widianto (Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman) dengan topik “Museum and Heritage: A Case Study of Museum Sangiran”.
Diskusi pleno diisi oleh dua orang pembicara tamu. Pembicara tamu pertama adalah Prof. Dr. John Norman Miksic dari National University of Singapore dengan tema “Development of Museum Education in Indonesia” dan pembicara tamu kedua adalah Dr. Christina F. Kreps dari Denver University, USA, dengan tema ” Indigenous Curation in Asia”.
Diskusi paralel akan membahas lima tema, yaitu Writing Museum in Southeast Asia dengan konvenor Prof. Dr. Bambang Purwanto (Universitas Gadjah Mada), The West and The Rest, the development of the theory of museology dengan konvenor: Dr. Wayne Modest (National Museum of Worldculture, Belanda), Museum and Heritage dengan konvenor: Dr. Tular Sudarmadi (Universitas Gadjah Mada), Conservation dengan konvenor: Dr. Mahirta (Universitas Gadjah Mada), dan Museology Education in Indonesia dengan konvenor: Pim Westerkamp, M.A (National Museum of Worldculture, Belanda).
Selain kegiatan seminar, peserta konferensi juga melakukan ekskursi, yaitu ke Museum Situs Manusia Purba di Sangiran, Jawa Tengah.